oleh : Yo Sugianto
MENARIK mengamati langkah pemerintah dalam menyikapi kisruh PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid di awal tahun 2011 lalu. Usai Kongres di Pekanbaru yang berakhir ricuh, dengan pengambilalihan sidang oleh mereka yang tergabung dalam Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KPPN), hanya dalam waktu dua hari pemerintah bersikap keras dan tegas “Pemerintah menyatakan tidak mengakui lagi pengurus PSSI dibawah pimpinan Ketua Umum Nurdin Halid dan Sekjen Nugraha Besoes serta seluruh kegiatan keolahragaan yang diselenggarakan kepengurusan PSSI tersebut."
Pemerintah bersama dengan KONI-KOI menyatakan tidak lagi mengakui legitimasi PSSI dibawah kepemimpinan Nurdin Halid terkait dengan kegagalan kongres PSSI sesuai dengan instruksi FIFA. Menpora menilai bahwa pengurus PSSI tidak kompeten yang bisa terlihat dari ketidak-tertiban di dalam penentuan hak suara, distribusi undangan, penentuan peraturan pemilihan, agenda kongres serta tidak adanya pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan kongres.
Andi menjelaskan, kebijakan tersebut diambil berdasarkan kewenangan pemerintah yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2007 serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007. Kebijakan ini juga diambil demi menyelamatkan organisasi PSSI dan melindungi kepentingan persepakbolaan nasional.
Selain itu pemerintah juga menunggu sikap FIFA atas keputusan kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di Pekanbaru yang diikuti oleh 78 anggota PSSI pemilik hak suara. Jika Keputusan Kongres tersebut disikapi secara positif oleh FIFA, maka Pemerintah bersama KONI/KOI mendukung segera dilaksanakannya kongres PSSI untuk memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Anggota Executive Committee PSSI Periode 2011-2015 sesuai jadual yang telah ditetapkan oleh FIFA yaitu sebelum tanggal 30 April 2011.
Terdapat 22 dasar pertimbangan yang membuat pemerintah mengambil keputusan itu, mulai dari situasi kongres Pekanbaru, UU Keolahragaan Nasional hingga FIFA Standard Electoral Code, Preamble (Preliminary Remarks).
Keputusan pemerintah itu mendapat kritikan dari anggota Komisi X DPR, Zulfadhli yang menilai bahwa pemerintah bersikap tidak adil dan tidak konsisten dalam menyikapi PSSI. Misalnya soal larangan orang parpol menjabat kepengurusan PSSI, kecuali untuk pimpinan KONI sesuai UU Keolahragaan Nasional. Dalam kenyataannya pemerintah mendiamkan saja orang parpol duduk di KONI.
Sedangkan Ketua Badan Futsal Nasional Gusti Randa menganggap bahwa apa yang diungkapkan Menpora tidak tegas karena masih menunggu sikap FIFA. “Masih ada apabila, apabila, apabila. Kalau masih banyak apabila itu bukan sebuah keputusan. Itu tidak menunjukkan ketegasan”, ujarnya.
Nurdin Halid sendiri menanggapi pernyataan Menpora itu dengan meminta kepada Presiden SBY untuk memecatnya. “Andi Alfian menerima KPPN, berkonsultasi dengan KPPN, memerintahkan sesuatu yang tidak benar. Karena itu saya memohon kepada Presiden SBY yang saya cintai untuk mencopot Saudara Andi Alfian karena tidak cakap menjadi Menpora”, kata Nurdin Halid. Permintaan ini ditanggapi dengan dingin oleh pihak istana negara
Pembentukan KN
Situasi makin memanas dan membuat FIFA melalui Komite Darurat turun tangan dengan membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk menyelesaikan kemelut di PSSI dan persepakbolaan di tanah air. Hal itu diputuskan Komite Darurat FIFA, 1 April 2011, dan diumumkan di situs FIFA pada 4 April 2011. KN diisi tokoh- tokoh sepak bola Indonesia yang tidak bisa mencalonkan atau dicalonkan untuk mengisi posisi di PSSI.
"Menyusul situasi terakhir yang berhubungan dengan asosiasi sepakbola Indonesia, PSSI, Komite Darurat FIFA memutuskan pada tanggal 1 April 2011, sesuai dengan pasal 7, ayat 2 dari statuta FIFA, Komite Normalisasi akan mengambil alih dari komite eksekutif PSSI saat ini," bunyi pernyataan resmi FIFA dalam website resmi mereka.
Komite itu mengambil alih peran Komite Eksekutif PSSI dan akan berfungsi seperti Komite Pemilihan. Tiga misi komite itu adalah, pertama, menggelar kongres pemilihan sebelum tanggal 21 Mei 2011 sesuai Kode Pemilihan FIFA dan Statuta PSSI. Kedua, merangkul Liga Primer Indonesia (LPI) di bawah kontrol PSSI atau menghentikan liga tersebut secepat mungkin. Ketiga, menjalankan aktivitas keseharian PSSI dalam semangat rekonsiliasi demi kebaikan sepak bola Indonesia.
KN ini diketuai oleh Agum Gumelar yang mantan Ketua Umum PSSI dengan anggota Joko Driyono (CEO PT Liga Indonesia), Dityo Pramono (PSPS Pekanbaru), Sukawi Sutarip (Ketua Pengprov Jawa Tengah), Siti Nurzanah (Arema Indonesia), Hadi Rudiatmo (Persis), Samsul Ashar (Persik Kediri) dan Satim Sofyan (Pengprov Banten).
FIFA juga menegaskan, empat calon yang ditolak Komite Banding pada 28 Februari 2011 (Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro) tidak bisa dicalonkan sebagai Ketua Umum PSSI 2011-2015.
Di bulan yang sama, FIFA juga membentuk Komite Normalisasi untuk Bosnia setelah terjadi kisruh yang mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. KN yang dibentuk Komite Darurat FIFA pada 12 April 2011 ini mengambil alih tugas Federasi Sepakbola Bosnia dan Herzegovina (FFBH/NSBiH)
Keputusan FIFA terhadap pencalonan 4 nama itu mengundang reaksi keras, terutama dari pendukung AP dan GT. Di tengah situasi itu, KN memutuskan untuk mengadakanKongres PSSI untuk memilih Ketua Umum dan Exco, digelar pada 20 Mei 2011, yang kemudian ditentukan tempatnya di hotel Sultan Jakarta
KN juga membuka pendaftaran calon Ketua Umum, Waketum dan anggota Exco PSSI mulai 12-17 April 2011, yang kemudian diperpanjang 22 April. Perpanjangan ini dilakukan untuk menunggu hasil pertemuan Agum Gumelar dengan FIFA di markas FIFA, pada 19 April 2011 di Zurich, Swiss.
Kongres Dadakan
Pertemuan Agum dengan FIFA tak terlepas dari kencangnya tekanan terhadap KN oleh para pendukung AP dan GT yang tidak menerima keputusan FIFA tentang pelarangan keduanya. Berbagai manuver terus dilancarkan, termasuk mengubah Pertemuan Silahturahmi antara KN dengan para pemilik suara pada 14 April 2011 menjadi Kongres yang disetujui oleh Agum.
Dalam kongres dadakan itu dihasilkan keputusan pembentukan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding (KB). Selain itu mencabut sanksi terhadap PSM Makassar, dan menentukan tiga kota yang akan akan dipilih sebagai tuan rumah PSSI 20 Mei 2011 yaitu Surabaya, Solo, dan Jakarta.
Personel KP yang dihasilkan tak jauh beda dengan hasil kongres di Pekanbaru, hanya bertambah dua anggota baru dan terdapat perubahan pada anggota pengganti. Mereka adalah Harbiansyah Hanafi (Persisam Samarinda, ketua), Wisnu Wardana (Persebaya Surabaya, wakil ketua), Hadiyandra (Pengprov Jambi, sekretaris). Dengan anggota, Dirck Soplanit (Pengprov Maluku), Erizal (Semen Padang), M Yasin (Pengprov Aceh), Sabarudin Labamba (Pengprov Sulawesi Tenggara), HM Baryadi (Pengprov Sumatera Selatan). Mereka dibantu anggota cadangan, Agus Santoso (Persiwa Wamena), Lambert Tukan (Pengprov NTT), dan Robertus Indratno (Persewar Waropen).
Sedangkan KB diketuai Ahmad Riyadh (Pengprov Jawa Timur), kemudian Rio Denamore (Persepar Palangkaraya), dan Umuh Muchtar (Persib Bandung). Dua anggota cadangan yakni Mohamad Muhdar (Persiba Balikpapan) dan Abdullah Pala (Pengprov Gorontalo).
Indikasi penekanan terhadap KN ini mendapat sorotan dari Koalisi Independen untuk rekonsiliasi Sepak Bola Nasional (Konsen) yang mensinyalir KN mulai diarahkan untuk melakukan tindakan sesuai kepentingan kelompok tertentu. Anggota Konsen, Effendi Ghozali melihat indikasi ini terjadi saat status Pertemuan Silaturahmi antara KN dengan pemilik suara di Hotel Sultan, 14 April lalu berubah menjadi Pra-Kongres bahkan selanjutnya menjadi Kongres. Dari kongres dadakan itulah kemudian muncul Komite Pemilihan dan Komite Banding. “Agum terlalu mengakomodasi 78 pemilik suara, terlalu mengikuti omongan mereka,” katanya.
Dari Solo, anggota Komite Normalisasi (KN) Hadi Rudyatmo menolak menandatangani hasil draf yang dianggap melenceng dari aturan FIFA pasca-Kongres PSSI dadakan. "Saya tidak mau menandatangani draf hasil kesepakatan dari 101 pemilik hak suara. Karena draf yang disodorkan itu tidak sesuai hasil yang dibicarakan dalam kongres dadakan," kata Hadi Rudyatmo, usai menerima utusan dari salah satu anggota KN yang datang dari Jakarta.
Hasil dari perjalanan singkat Agum ke Swiss adalah tetap tegasnya FIFA pada keputusannya (seperti dalam suratnya ke PSSI tertanggal 4 April 2011) bahwa Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro dilarang untuk maju lagi. FIFA juga memutuskan pembentukan KB bisa diteirma dan KP hasil bentukan Kongres dadakan 14 April 2011 tak diperlukan lagi..
Hasil ini kembali mendapat kecaman dari Kelompok 78, penjelmaan KPPN, yang menuduh terjadi manipulasi data ke FIFA. Mereka bahkan mendesak Agum mundur saja dari KN karena dianggap tidak mematuhi keputusan tanggal 14 April tentang pembentukan KP dan KB, tapi lebih memenuhi keputusaan FIFA.
Tak hanya itu, K78 juga menggugat FIFA ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) melalui pengacara Patrick Mbaya dengan gugatan setebal 16 halaman sejak tanggal 12 Mei 2011 lalu. Dalam suratnya tersebut, pengacara asal Belgia itu menguraikan kronologi kisruh yang terjadi di PSSI.
Sementara itu, KN menyatakan siap melaksanakan apapun keputusan dari CAS nantinya. Nama GT dan AP ditolak oleh Komite Normalisasi dalam keputusannya 13 Mei 2011 berdasarkan perintah FIFA. Padahal sebelumnya, Toisuta dan Panigoro sudah dinyatakan lolos oleh Komite Banding.
Menjawab tuduhan itu, Agum dalam wawancara di sebuah media online mengatakan “Jadi soal tuduhan kepada saya bahwa saya melaporkan hal yang berbeda kepada FIFA, tidak masuk akal. Bagaimana bisa? Situasi di sini kan transparan sekali. Semua media memuatnya, mulai cetak dan elektronik. Bagaimana saya bisa memanipulasi informasi kepada FIFA? Tidak mungkin. Saya laporkan apa adanya.”
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar