Minggu, 15 Januari 2012
Suporter Sepakbola Bukan Penonton Bioskop
Satu hari di warung kopi, seorang kawan saya, W, iseng-iseng bertanya: mengapa ada potongan harga tiket khusus bagi kelompok yang menamakan diri suporter.
W bukan penggemar fanatik sepakbola. Ia penggemar keris. Namun pertanyaannya adalah pertanyaan semua orang, saya kira. Apa yang menyebabkan sekelompok orang yang menamakan diri suporter memperoleh keistimewaan, privelese, daripada mereka yang lain, yang datang dan masuk ke stadion dengan sama-sama membayar tiket.
"Bukankah seharusnya mereka yang menamakan diri suporter justru tak meminta pengistimewaan? Suporter, dari kata support, mendukung: bukankah seorang suporter seharusnya mendukung klub dengan membeli tiket dengan harga penuh, dan bukannya menggerogoti klub dengan meminta potongan harga. Bukankah dengan adanya potongan harga berarti sama saja klub yang memberi subsidi suporter dan bukannya suporter yang membantu klub?"
Para suporter sepakbola berbeda dengan penonton film. Para penonton film tak memiliki keterikatan dengan film yang ditonton, atau bioskop tempat menonton. Ketika film yang ditonton selesai, mereka bisa menonton film yang lain esok hari. Jika bioskop di tempat lain lebih nyaman, mereka bisa berpindah.
Para penonton film membayar karena ingin dihibur. Mereka tak perlu susah-susah berpikir, apakah film yang ditontonnya laku, atau bioskop tempatnya menonton bakal gulung tikar pekan depan.
Dengan kata lain, W ingin menyatakan: menamakan diri sebagai suporter, berarti memiliki obligasi moral lebih tinggi daripada penonton.
Seorang suporter semustinya tak meminta keistimewaan soal harga tiket. Datang ke stadion dengan kecintaan (yang mungkin membedakan diri dengan penonton biasa yang datang karena ingin hiburan), mereka seharusnya justru membayar tiket dengan harga lebih tinggi, untuk menjaga klub tetap hidup. Karena jika klub itu mati, tak mudah bagi mereka untuk bermigrasi ke stadion lain untuk mendukung klub yang berbeda.
K, seorang pengurus klub berkata: pada suatu saatnya nanti pasti begitu, jika prestasi klub sepakbola kita sudah mentereng.
Pertanyaannya: kapan itu terjadi? Ini bukan masalah sebuah penantian, tapi masalah kebiasaan. Selama bertahun-tahun, klub sepakbola Indonesia diurusi oleh birokrasi dengan menggunakan uang pajak. Selama bertahun-tahun pula, klub sepakbola negeri ini tak bisa mandiri.
Pengurus klub memberikan potongan harga tiket kepada mereka yang tergabung dalam kelompok suporter, tidak dengan menggunakan logika modal, tapi politik. Yang penting stadion ramai, dan di situlah berjalan kampanye politik. Politik membutuhkan massa, kapitalisme tidak.
Saya tidak tahu, apakah manajemen klub dan kelompok suporter sama-sama nyaman dengan kondisi saat ini. Namun pemberian potongan harga tiket kepada kelompok suporter di luar afiliasi dengan manajemen klub memunculkan sejumlah persoalan.
Pertama, pemasukan dari tiket tidak akan pernah maksimal. Bagi sebuah klub yang tengah belajar mandiri dan profesional di Indonesia, ini bukan sinyal bagus.
Kedua, membuka peluang bagi bertumbuhkembangnya calo tiket. Tak ada yang bisa mengontrol apakah segepok tiket yang diberikan kepada kelompok atau elemen suporter tertentu akan betul-betul didistribusikan kepada anggota mereka, atau justru dijual kembali kepada pihak lain dengan harga lebih tinggi.
Ketiga, memicu diskriminasi di antara kelompok suporter sendiri. Di Indonesia, ada sejumlah klub yang memiliki banyak kelompok suporter tak terafiliasi dengan manajemen. Pemberian potongan tiket tak bisa menjangkau seluruh kelompok suporter ini, dan biasanya hanya diperuntukkan kelompok yang memiliki komunikasi yang mulus dengan manajemen klub.
Keempat, kebiasaan pemberian potongan harga tiket kepada kelompok suporter membuat mereka tak memiliki obligasi moral kepada klub. Slogan 'menghidupi klub bukan mencari hidup dari klub' pada akhirnya menyisakan kekosongan.
Terakhir, manajemen klub tak akan pernah bisa memberlakukan sistim tiket terusan atau musiman. Di luar negeri, korting tiket diberikan untuk para pembeli tiket terusan atau tiket berlangganan seluruh pertandingan kandang dalam satu musim. Para pembeli tiket musiman ini tercatat sebagai suporter resmi dalam basis data klub, dan terintegrasi dengan manajemen klub tersebut.
Jadi, bisakah berubah? Karena tidak ada kasta dalam penonton sepakbola di stadion: kecuali klasifikasi harga tiket berdasarkan tribun tempat mereka duduk.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar