Sabtu, 21 Januari 2012

Berbahasa dalam sepakbola ternyata penting

Dalam literatur diajarkan dua fungsi bahasa. Fungsi umum dan fungsi khusus. Salah satu fungsi umum bahasa digambarkan sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan, maksud atau tujuan yang diungkapkan melalui bahasa. Baik bahasa ujaran maupun tulisan. Bahasa berfungsi dengan baik jika pendengar atau pembaca memahami substansi dan isi apa yang dimaksud pembicara untuk bahasa lisan–dan pembaca untuk bahasa tulisan. Meskipun demikian perbedaan interpretasi bisa terjadi, karena perbedaan latar belakang pendidikan atau pengetahuan, budaya, atau tingkat kecerdasan. Maka dikenal metode interpretasi.

Lho..lalu apa hubungannya dengan sepakbola?

Soal interpretasi sempat menjadi diskusi ramai dan menarik di mikroblog ini. Terkait datangnya surat FIFA yang ditujukan ke PSSI pada tanggal 13 Januari lalu. Anggap hal itu sudah berlalu, meskipun ada beberapa penafsir dengan dasar ‘interest’ tertentu, ya biarlah itu menjadi bagian dari pengaruh politik si penafsir.

Tetapi problem itu menjadi dasar pijak saya untuk sedikit membahas betapa pentingnya perumusan bahasa dalam sepakbola. Tentu belum lepas dari ingatan kita ketika seorang terpidana, bisa melanggengkan kekuasannya untuk menjadi ketua PSSI, hanya dengan bermain kata (bahasa) dan menambahkan kata ’sedang’ menjalani pidana. Sehingga mantan terpidana masih bisa mengamankan jabatan itu ketika telah menjalani pidananya, karena sudah tidak ’sedang’ lagi. Hebat…euy..

Kalimat (dan bahasa) sejenis terlihat juga dalam statuta PSSI, yang berpotensi menimbulkan polemik. Terutama menjelang Konggres PSSI 18 Maret 2012 mendatang. Misalnya kalimat dalam artikel 23 (1) butir a statuta PSSI ini:

The Congress is composed of 108 delegates that are allocated as
follows:

a. 18 Super League Clubs (one delegate per each club).

Jelas kalimat “18 Super League Clubs” terlalu spesifik bagi sebuah statuta dengan jangkauan waktu yang panjang, dan nama liga yang bisa berubah setiap saat. Karena berubahnya sponsor. Bagaimana jika tiga tahun kemudian liga disponsori perusahaan cendol? dan berubah nama menjadi “Cendol League”? Sementara bunyi statutanya ‘Super League’? Apakah berarti kongres tidak bisa diadakan karena saat ini semua klub menjadi anggota liga cendol?

Atau sebaliknya peserta liga cendol enggal boleh hadir? yang boleh hadir hanya mereka yang masih bernama Super League? Hehehe…. ya kalau kebetulan mereka masih eksis dan legal, kalau sudah masuk ‘liga cendol’ semua? Enggak jadi konggres dong…!

Dalam hal seperti itu interpretasi harus dilakukan secara ’substantif’ bukan tekstual. Dalam pengetahuan saya tafsir tekstual juga tidak ada. Tetapi penafsiran gramatikal ada, yang dilakukan secara utuh dengan melihat ketentuan2 lainnya. Tidak cuma satu artikel. Dengan cara ini dapat dibaca maksud pembentuk peraturan, jika yang dimaksud bukanlah yang sesuai nama liga, tetapi yang substantif liga yang mempunyai kedudukan dan posisi (legal) yang sama dengan nama itu.

Pentingnya bahasa ini, saya kira bisa menjadi salah satu agenda konggres PSSI yang akan datang. Dengan merumuskan ulang statuta yang merujuk pada maksud peserta konggres. Dengan menginventarisasi berbagai rumusan statuta yang ambigu, terlalu spesifik, atau mengandung interest politik sebagai warisan zaman kegelapan di masa lalu. Tentu di samping agenda utama seperti yang diamantkan FIFA dalam suratnya kemarin.

Ini relevan mengingat pembersihan politikus dengan berbagai interest masih bisa membayangi dalam beberapa tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar